11 Juni 2012

Alasan Seseorang Berfilsafat | Mengapa Perlu Filsafat

Pertanyaan seperti “Mengapa seseorang perlu berfilsafat?”, atau “Untuk apa seseorang berfilsafat?”, yang terkadang bernada curiga ini, secara khusus dianalisis dalam bagian ini. Pertanyaan mendasarnya, “Mengapa (manusia) berfilsafat ?” Benarkah anggapan bahwa filsafat tidak membawa apa-apa bagi kepentingan manusia atau masyarakat pada umumnya? Bahwa filsafat hanya milik para filsuf dan mahasiswa filsafat? Kemudian, benarkah juga proposisi bahwa filsafat tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan pemikiran-pemikiran yang dihasilkan darinya, karena para filsuf adalah kumpulan pengelamun saja? Lagipula, mengapa harus filsafat yang berperanan dalam hal-hal yang kini “ditangani” oleh filsafat?

K O D R A T

Cara terpenting untuk memahami apa itu filsafat tidak lain adalah dengan berfilsafat. Berfilsafat, artinya menyelidiki suatu permasalahan dengan menerapkan argumen-argumen yang filosofis. Yang dimaksud dengan argumen-argumen yang filosofis adalah argumen-argumen yang memiliki sifat-sifat: deskriptif, kritis atau analitis, evaluatif atau normatif, spekulatif, rasional, sistematis, mendalam, mendasar, dan menyeluruh. Dengan perkataan lain, berfilsafat berarti: mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segala-galanya, mencari orientasi dasar bagi kehidupan manusia.

Dalam rangka berfilsafat itu, ada empat sikap batin yang diperlukan:
• Keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini.
• Kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap suatu pernyataan filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita pada saat itu.
• Tekad untuk menempatkan upaya mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kekecewaan karena “kalah” dalam perdebatan.
• Kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi, agar tidak menyebabkan kekaburan berpikir atau konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses diskusi filsafat.

Pokok pertanyaan kita adalah, “Mengapa (kita) berfilsafat?” atau “Untuk apa (kita) berfilsafat?” Salah satu jawaban yang terkesan spekulatif namun paling mungkin adalah, “Karena pada suatu saat kita secara tidak sadar sudah bergelut dengan suatu permasalahan filsafat, yang dengan sendirinya jadi bahan pemikiran kita.” Meskipun kita tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, ada masalah-masalah filsafat yang mau tak mau menarik perhatian kita. Masalah persisnya tentu berbeda dari orang ke orang. Kita mungkin akan terserap dalam suatu pembahasan filsafat walaupun persoalan yang dibahas kelihatannya sama sekali tidak “filosofis”. Entah kita seorang mahasiswa filsafat atau bukan, kita dapat saja terbawa ke arah pemikiran filsafat. Ringkasnya, setiap orang pasti menyimpan asumsi-asumsi atau keyakinan-keyakinan filsafat. Dengan demikian, pertanyaannya bukan lagi haruskah kita menangani permasalahan filsafat, melainkan bagaimanakah caranya.

para filsuf seringkali menulis dalam bahasa khusus menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik suatu teori. Tidak jarang, teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-masalah yang lain lagi. Namun, tidak peduli sekompleks dan seberat apapun, teori-teori tersebut pada dasarnya adalah tanggapan terhadap masalah-masalah biasa seni, moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat. Di pinggiran-pinggiran wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal yang tersembunyi; mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian itu tersimpan masalah-masalah yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk ke dalam suatu kajian filsafat secara umum.
Untuk memberi gambaran, mari kita lihat bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa kepada pemikiran filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut:

1. Seorang neuropsikolog, yang sedang meneliti korelasi antara fungsi-fungsi tertentu otak manusia dan rasa sakit, mulai sangsi, apakah “akal budi” sungguh berbeda dengan otak.
2. Seorang ahli fisika nuklir, setelah berketetapan bahwa materi sebagian besar adalah ruang hampa yang di dalamnya terjadi transformasi-transformasi energi tanpa warna, mulai bertanya-tanya, sejauh manakah dunia yang padat, berkeluasan, dan berwarna seperti yang kita persepsikan ini berkaitan dengan keberadaannya yang sesungguhnya dan manakah di antara keduanya itu yang lebih “nyata”.
3. Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang semakin berhasil memprediksikan perilaku manusia, bertanya-tanya, adakah tindakan manusia yang dapat dikatakan “bebas”.
4. Mahkamah Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang sopan dan yang tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang hakikat dan fungsi seni.
5. Seorang teolog, setelah kalah perang melawan sains mengenai arti harfiah alam semesta (atau “kenyataan”), terpaksa harus merumuskan kembali seluruh tujuan dan cakupan teologi tradisional.
6. Seorang antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral.
7. Seorang ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa membentuk pandangan kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu “kenyataan sejati” karena semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan dibatasi oleh bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan itu.
8. Seorang skeptis sejati, yang telah terbiasa menuntut dan menolak bukti-bukti absolut bagi setiap sudut pandang yang ditemuinya, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia untuk mengetahui apapun.

MANFAAT (1)
Bagi banyak orang, pertanyaan “Untuk apa berfilsafat?” menyiratkan suatu kepentingan praktis, yaitu “Apa manfaat filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?” Ada sebuah jawaban yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis dalam filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem nilai yang kita miliki dan bagaimana kita memandang dunia secara umum.
Perubahan sistem nilai atau pandangan-pandangan dunia kita itu dapat mengubah perspektif kebahagiaan kita, tujuan yang hendak kita kejar dalam profesi kita, atau sekadar gaya hidup kita. Namun, manfaat-manfaat itu lebih merupakan hasil sampingan saja, bukan tujuan yang spesifik, dari kajian filsafat.

MANFAAT (2)
Kita akan memetik manfaat bukan hanya dari keterlibatan diri kita dalam filsafat pada umumnya, melainkan juga secara khusus dari kegiatan melakukan telaah atau kajian filsafat. Penelaahan filsafat yang efektif, sekali lagi, bersifat luas, mendalam, dan kritis. Relevansi kritis dari penelaahan semacam itu tidak dapat dipungkiri. Singkatnya, dengan melakukan telaah filsafat, kita akan semakin mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedan sudut pandang, dan semakin membebaskan diri dari dogmatisme.

Di samping itu, filsafat juga mempunyai fungsi khusus dalam lingkungan sosial budaya Indonesia
1. Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses modernisasi yang meliputi semakin banyaknya bidang dan hanya untuk sebagiannya dapat dikemudikan melalui kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan modernisasi dengan perubahan pandangan hidup, nilai-nilai dan norma-norma itu, filsafat membantu untuk mengambil sikap yang sekaligus terbuka dan kritis.
2. Filsafat merupakan sarana baik untuk menggali kembali kekayaan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan filsafat Indonesia untuk mengaktualisasikannya bagi Indonesia modern yang sedang kita bangun.
3. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani tidak hanya secara museal dan verbalistik, melainkan secara evaluatif, kritis dan refleksif, sehingga kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan terus-menerus identitas modern bangsa Indonesia.
4. Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan untuk mendeteksi dan membuka kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk ketidakadilan sosial dan pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat dan hak-hak asasi manusia yang masih terjadi. Jadi filsafat membuat sanggup untuk melihat secara terbuka masalah-masalah sosial serta percaturan kekuasaan yang sedang berlangsung.
5. Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan intelektual bangsa pada umumnya dan khususnya dalam kehidupan intelektual di universitas-universitas dan lingkungan akademis. Filsafat dapat berfungsi sebagai interdisipliner sistem, tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut “fakultas sentral” atau “inter-fakultas”, karena semua fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari kenyataan, menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi termasuk bidang khusus mereka. Misalnya, pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang hakikat materi, tentang dasar moral.
6. Salah satu fungsi terpenting filsafat adalah bahwa ia menyediakan dasar dan sarana sekaligus bagi diadakannya dialog di anatara agama-agama yang ada di Indonesia pada umumnya dan secara khsus dalam rangka kerja sama antar-agama dalam membangun masyarakat adil-makmur. Jadi filsafat adalah dasar bagus bagi dialog antar-agama, karena argumentasinya mengacu pada manusia dan rasionalitas pada umumnya, tidak terbatas pada pendekatan salah satu agama tertentu, itu pun tanpa mengurangi pentingnya sikap beragama. Justru para agamawan memerlukan filsafat supaya dapat bicara satu sama lain dan bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial dan masalah-masalah nasional.

Semoga bermanfa'at........ *_*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih Anda Sudah Meninggalkan Komentar . . . *_*